Alasan Menolak Meluruskan Shaf
ALASAN MENOLAK MELURUSKAN SHAF
Yang Penting Hati Bukan Fisik Atau Yang Tampak
Sebagian orang jika diajak untuk memperhatikan shaf, pakaian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan hal yang tampak atau yang zhahir, mereka sering beralasan dengan kalimat di atas, “Yang penting hati bukan fisik atau yang tampak.” Tapi pada saat yang sama dia sangat perhatian dengan semua penampilan dunia kecuali penampilan yang terkait langsung dengan ketaatan, seperti meluruskan shaf, berjenggot, menaikkan pakaian di atas mata kaki jika dia laki-laki dan berbagai penampilan zhahir lainnya.
Sungguh mengherankan keadaan orang-orang seperti ini, dalam banyak urusan dunia, mereka sangat memperhatikan penampilan, akan tetapi mereka kurang bahkan tidak perhatian dalam masalah penampilan yang diperintahkan oleh agama! Sepertinya, sikap seperti ini adalah bisikan syaitan.
Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan sekiranya ada dalil-dalil yang mengharamkan shaf yang lurus dan rapat, bisa jadi syaitan dari golongan jin dan manusia akan datang membisikkan dan menyuruh mereka untuk merapatkan shaf, sehingga shaf itu akan benar-benar rapat dan lurus. Sungguh mengherankan!
Lihatlah, bagaimana mereka sangat mencintai penampilan dunia?
Kita melihat mereka sangat mencintai orang kaya walaupun dia tidak mengerti ilmu agama. Mereka lebih mengutamakan orang kaya dibandingkan orang miskin walaupun orang yang miskin harta itu memiliki ilmu agama.
Mereka lebih memilih berteman dengan orang kuat dan meninggalkan orang lemah.
Terkadang ada orang yang rela mengeluarkan harta dalam jumlah fantastis hanya untuk sesuatu yang remeh dan tidak penting supaya dijuluki, “Fulan ini dan itu.”
Terkadang orang jahil mentertawakan kita dengan pakaiannya yang bagus, dan pencuri menipu kita dengan perkataan manisnya dan orang munafik menyihir kita dengan penjelasan dan lisannya.
Jika mereka mendatangi satu majelis atau suatu perkumpulan, kemudian ada yang tidak berdiri menyambutnya, mereka menganggap ini suatu musibah karena mereka tidak dihormati dan tidak dihargai. Mereka menganggap orang yang tidak berdiri itu sebagai orang tidak tahu sopan santun.
Ini diantara contoh masalah dunia yang sangat diperhatikan penampilan lahiriahnya. Namun mereka akan berkata lain jika aktifitas fisik itu berkait dengan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya.
Jika dikatakan kepada mereka bahwa berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah perkara yang haram. Mereka mengatakan, “Yang penting hati kami tetap terjaga, suci dan bersih. Yang menjadi tolok ukur itu bukan penampilan lahirnya.” Namun pernyataan ini akan berubah jika terkait dunianya. Misalnya, bila ada lelaki miskin yang bagus agama dan akhlaknya datang dengan maksud melamar anak perempuan mereka, maka mereka akan melihat kepada penampilan fisik lelaki yang datang tersebut. Mereka menjadikan penampilan yang tampak dari si lelaki itu sebagai patokan tanpa melirik agama, hati dan kesucian laki-laki itu. Apalagi menjadikannya sebagai tolok ukur. Karena yang terpenting bagi mereka adalah mempunyai harta, kedudukan atau jabatan yang mulia.
Jika mereka diminta merapatkan shaf dan meluruskannya, mereka mengatakan bahwa yang penting itu batinnya atau hatinya bukan penampilan atau amalan lahiriyahnya.
Namun keyakinan mereka ini berubah ketika hendak menikahkan anak perempuannya. Mereka membuat macam-macam ketentuan, meninggikan mahar, membuat syarat yang banyak untuk pernikahan bahkan sampai urusan pakaian pun mereka tentukan harus seperti ini dan itu. Mereka menuntut perkakas rumah tangga yang harganya tinggi, serta menuntut pesta pernikahan yang paling mewah, tidak tertandingi atau minimal tidak mau kalah dengan yang lainnya.
Lalu, dimanakah “kebaikan batin” yang mereka jadikan tameng saat mereka diajak berbicara tentang merapatkan shaf shalat? Dimanakah pengingkaran mereka terhadap usaha meluruskan shaf yang mereka sebut penampilan lahir? Apakah itu muncul dari hawa nafsu ? Semoga Allâh membinasakan hawa nafsu yang seperti itu.
Inilah sikap sebagian kaum Muslimin. Mengapa bentuk penampilan lahir atau fisik yang jelas diinginkan, dicintai dan diperintahkan oleh Allâh, bahkan orang yang tidak mengamalkannya diancam akan ditimpakan kebinasaan dan musibah justru kalian jadikan bahan senda gurau dan permainan?
Dan sebaliknya, bentuk penampilan lahiriah yang jelas-jelas dilarang Allâh Azza wa Jalla justru dijadikan seperti syariat dan agama yang wajib ditaati.
Diakui atau tidak, sebenarnya kita ini telah percaya bahwa merapikan dan merapatkan shaf (barisan) itu memiliki pengaruh positif. Hanya saja, barisan mendapatkan porsi perhatian itu adalah barisan yang dilakukan di luar masjid bukan di dalam masjid. Tidakkah kita melihat betapa indah dan lurusnya barisan para tentara dan pelajar di sekolah?!
Ada yang mengatakan bahwa rapinya barisan para tentara dan para pelajar tersebut melambangkan kekuatan, kerapian, ketaatan dan kemajuan. Namun jika hal tersebut di terapkan di dalam masjid mereka berkomentar bahwa tindakan seperti itu hanyalah perkara lahiriyah, masalah kulit, urusan remeh, tidak berguna dan tidak perlu.
Dalam rangka memudahkan segala bentuk urusan, baik di masyarakat maupun di lembaga-lembaga dan untuk menghindari berbagai kesulitan dan perselisihan, kita sangat memerlukan keteraturan dan ketertiban, namun jangan ditanya sikap mereka jika ingin menerapkan ketertiban dan keteraturan dalam masjid agar tidak ada perpecahan dan perselisihan. Mereka lupa atau pura pura lupa akan ancaman Rasûlullâh terhadap orang yang tidak mau menegakkan shaf.
Merapatkan Shaf Menyebabkan Was-Was Dan Menghalangi Kekhusyukan
Yang mengherankan adalah bila ada seseorang yang berbicara tentang keharusan meluruskan shaf, terkadang ada yang menimpali bahwa hal itu menyebabkan was-was dan keragu-raguan dan juga menyibukkan diri dengan urusan bahu dan telapak kaki sehingga melalaikan kekhusyukan dalam shalat!
Untuk orang-orang yang seperti ini, kita katakan seraya meminta pertolongan dari Allâh Azza wa Jalla :
- Khusyuk itu akan terwujud bila syaitan yang selalu menggoda itu telah pergi, bukan dengan sebab kehadiran syaitan. Meluruskan shaf membuat syaitan lari, sedangkan tidak meluruskannya mengundang kehadiran syaitan. Justru shaf yang tidak diluruskan itulah yang mendatangkan rasa was-was dan menyibukkan pikiran sehingga lalai dari shalat yang sedang dia kerjakan.
- Tidak mengikuti perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla dan Nabi-Nya adalah sebab terhalangnya seseorang dari petunjuk Allâh Azza wa Jalla , rasa khusyuk, dan thuma’ninah (ketenangan), bukan sebaliknya.
- Mungkin saja pada permulaannya muncul sedikit was-was. Ini adalah bisikan syaitan untuk memalingkan kita dari usaha meluruskan shaf. Mungkin juga karena belum terbiasa. Kesulitan atau kesusahan yang dialami oleh seseorang pada saat memulai suatu yang baru adalah hal yang sudah biasa. Namun hal ini akan hilang dengan tekad dan terus mutâba’ah mengikuti perintah Rasul, insya Allâh.
Itulah diantara alasan yang dilontarkan seseorang untuk menolak ajakan memperhatikan dan meluruskan shaf, padahal itu perintah dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa memberikan kekuatan dan taufiq kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti kebenaran yang diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIX/1437H/2015M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/6521-alasan-menolak-meluruskan-shaf.html